
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) bekerja sama dengan Pemerintah Inggris dalam riset bidang kesehatan. Departemen Bisnis, Energi, dan Strategi Industri Inggris melalui Newton Fund menyiapkan Rp 37 miliar untuk mendanai enam penelitian terbaik di bidang penyakit menular dalam jangka waktu tiga tahun.
"Pendanaan riset ini bertujuan menghasilkan terobosan dalam bidang penyakit menular. Hasil kolaborasi ini akan meningkatkan ketahanan dan kesiapan Indonesia dalam menangani penyakit menular yang mematikan, termasuk melalui intervensi kebijakan maupun pengembangan teknologi farmasi dan inovasi alat medis," kata Menristekdikti, Mohamad Nasir, dalam konferensi pers di Kantor Kemenristekdikti, Senin (13/5).
Nasir menjelaskan proses pemilihan enam penelitian yang didanai ini dilakukan dengan proses yang terbuka, transparan, dan kompetetitif. Sebanyak 22 proposal masuk dinilai oleh tim pengkaji dari Indonesia dan Inggris. Selanjutnya, 18 proposal yang lolos didiskusikan pada panel meeting pada November 2018 lalu. Akhirnya, tim menyeleksi enam penelitian yang didanai terkait penyakit menular yang rawan terjadi di Indonesia.
Enam riset yang terpilih adalah, penelitian yang bertujuan menguji molekul cathelicidins yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh manusia dan apakah bisa dimodifikasi untuk memerangi demam berdarah. Riset tersebut dilakukan oleh peneliti utama dari Indonesia yakni Anom Bowolaksono dari Universitas Indonesia dan Peter Barlow dari Edinburgh Napier University.
Riset kedua adalah yang bertujuan memahami peran interaksi binatang dan manusia dalam penyebaran penyakit menular seperti malaria. Peneliti yang melakukan riset adalah Isra Wahid dari Universitas Hasanuddin dan Janet Cox-Singh dari University of St Andrews.
Selanjutnya adalah riset yang bertujuan untuk menyelidiki pencegahan HIV yang inovatif, baik melalui pelayanan deteksi yang memadai dan penanganan yang cepat bagi masyarakat yang terjangkit penyakit tersebut. Peneliti yang melakukan riset ini adalah Irwanto dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Keerti Gedela dari University of Chelsea and Westminster Hospital NHS Foundation Trust.
Riset keempat adalah terkait tuberkolosis. Riset yang dilakukan oleh Ida Parwati dari Universitas Padjadjaran dan Taane Clark dari The London School of Hygiene and Tropical Medicine ini bertujuan untuk mengidentifikasi pasien tuberkolosis sejak dini dan meningkatkan pengawasan pada masa pengobatan.
Riset kelima yang dilakukan adalah terkait penyakit infeksi otak. Penelitian yang dilakukan oleh Tri Wibawa dari Universitas Gadjah Mada dan Michael Griffiths dari University of Liverpool ini bertujuan untuk menyelidiki pemakaian peralatan molekuler yang dapat meningkatkan diagnosa penderita infeksi otak di Indonesia.
Terakhir adalah riset terkait aspergillosis. Diagnosis penyakit ini terbilang mahal dan membutuhkan peralatan khusus sehingga riset ini bertujuan unutk mengembangkan uji diagnosa yang lebih mudah dan terjangkau. Peneliti yang melakukan riset adalah Anna Rozaliyani dari Universitas Indonesia dan Chris Kosmidis dari University of Manchester.
Nasir berharap, kerja sama yang dilakukan ini dapat meningkatkan ilmu pengetahuan yang ada di Indonesia khususnya di bidang kesehatan. Selain itu, diharapkan juga riset ini dapat mendorong pelayanan kesehatan di Indonesia lebih murah dan mudah didapatkan oleh masyarakat.
Selain itu, Nasir juga berharap kerja sama ini dapat menghasilkan sesuatu yang nyata dan penyebaran penyakit menular di Indonesia bisa berhenti. Sebab, saat ini penyakit menular ataupun tidak menular di Indonesia masih kerap kali terjadi salah satunya adalah demam berdarah. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat 16.692 kasus demam berdarah di Indonesia per 3 Februari 2019.
"Harapan saya riset ini bisa menghasilkan inovasi obat-obatan dan teknologi kesehatan," kata Nasir menegaskan.
Sementara itu, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor Leste, Moazzam Malik mengatakan tujuan Pemerintah Inggris memberi bantuan dana riset kesehatan ini adalah agar kedua negara bisa menjadi mitra utama. Inggris, kata Moazzam sudah memiliki universitas-universitas terbaik dunia, sehingga penyebaran ilmu pengetahuan menjadi penting.
Ia mengatakan, dalam bidang sains dan riset Inggris menempati posisi kedua dunia. Sebanyak 54 persen hasil penelitiannya masuk ke dalam kategori terbaik dunia. Hasil riset Inggris juga dikutip lebih banyak jika dibandingkan dengan riset negara lainya. Oleh sebab itu, Muazzam mengatakan Inggris merupakan negara yang tepat untuk bekerja sama dalam bidang riset.
"Saya kira proyek yang terpilih sangat penting. Berfokus pada penyakit-penyakit dan berfokus bagaimana mendiagnosis lebih mudah dan murah. Ini riset yang sangat revelan untuk kesehatan rakyat Indonesia," kata Muazzam. Indonesia-Inggris Siapkan Rp 37 Miliar Danai Riset Penyakit Menular
JAKARTA -- Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) bekerja sama dengan Pemerintah Inggris dalam riset bidang kesehatan. Departemen Bisnis, Energi, dan Strategi Industri Inggris melalui Newton Fund menyiapkan Rp 37 miliar untuk mendanai enam penelitian terbaik di bidang penyakit menular dalam jangka waktu tiga tahun.
"Pendanaan riset ini bertujuan menghasilkan terobosan dalam bidang penyakit menular. Hasil kolaborasi ini akan meningkatkan ketahanan dan kesiapan Indonesia dalam menangani penyakit menular yang mematikan, termasuk melalui intervensi kebijakan maupun pengembangan teknologi farmasi dan inovasi alat medis," kata Menristekdikti, Mohamad Nasir, dalam konferensi pers di Kantor Kemenristekdikti, Senin (13/5).
Nasir menjelaskan proses pemilihan enam penelitian yang didanai ini dilakukan dengan proses yang terbuka, transparan, dan kompetetitif. Sebanyak 22 proposal masuk dinilai oleh tim pengkaji dari Indonesia dan Inggris. Selanjutnya, 18 proposal yang lolos didiskusikan pada panel meeting pada November 2018 lalu. Akhirnya, tim menyeleksi enam penelitian yang didanai terkait penyakit menular yang rawan terjadi di Indonesia.
Enam riset yang terpilih adalah, penelitian yang bertujuan menguji molekul cathelicidins yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh manusia dan apakah bisa dimodifikasi untuk memerangi demam berdarah. Riset tersebut dilakukan oleh peneliti utama dari Indonesia yakni Anom Bowolaksono dari Universitas Indonesia dan Peter Barlow dari Edinburgh Napier University.
Riset kedua adalah yang bertujuan memahami peran interaksi binatang dan manusia dalam penyebaran penyakit menular seperti malaria. Peneliti yang melakukan riset adalah Isra Wahid dari Universitas Hasanuddin dan Janet Cox-Singh dari University of St Andrews.
Selanjutnya adalah riset yang bertujuan untuk menyelidiki pencegahan HIV yang inovatif, baik melalui pelayanan deteksi yang memadai dan penanganan yang cepat bagi masyarakat yang terjangkit penyakit tersebut. Peneliti yang melakukan riset ini adalah Irwanto dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Keerti Gedela dari University of Chelsea and Westminster Hospital NHS Foundation Trust.
Riset keempat adalah terkait tuberkolosis. Riset yang dilakukan oleh Ida Parwati dari Universitas Padjadjaran dan Taane Clark dari The London School of Hygiene and Tropical Medicine ini bertujuan untuk mengidentifikasi pasien tuberkolosis sejak dini dan meningkatkan pengawasan pada masa pengobatan.
Riset kelima yang dilakukan adala terkait penyakit infeksi otak. Penelitian yang dilakukan oleh Tri Wibawa dari Universitas Gadjah Mada dan Michael Griffiths dari University of Liverpool ini bertujuan untuk menyelidiki pemakaian peralatan molekuler yang dapat meningkatkan diagnosa penderita infeksi otak di Indonesia.
Terakhir adalah riset terkait aspergillosis. Diagnosis penyakit ini terbilang mahal dan membutuhkan peralatan khusus sehingga riset ini bertujuan unutk mengembangkan uji diagnosa yang lebih mudah dan terjangkau. Peneliti yang melakukan riset adalah Anna Rozaliyani dari Universitas Indonesia dan Chris Kosmidis dari University of Manchester.
Nasir berharap, kerja sama yang dilakukan ini dapat meningkatkan ilmu pengetahuan yang ada di Indonesia khususnya di bidang kesehatan. Selain itu, diharapkan juga riset ini dapat mendorong pelayanan kesehatan di Indonesia lebih murah dan mudah didapatkan oleh masyarakat.
Selain itu, Nasir juga berharap kerja sama ini dapat menghasilkan sesuatu yang nyata dan penyebaran penyakit menular di Indonesia bisa berhenti. Sebab, saat ini penyakit menular ataupun tidak menular di Indonesia masih kerap kali terjadi salah satunya adalah demam berdarah. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat 16.692 kasus demam berdarah di Indonesia per 3 Februari 2019.
"Harapan saya riset ini bisa menghasilkan inovasi obat-obatan dan teknologi kesehatan," kata Nasir menegaskan.
Sementara itu, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor Leste, Moazzam Malik mengatakan tujuan Pemerintah Inggris memberi bantuan dana riset kesehatan ini adalah agar kedua negara bisa menjadi mitra utama. Inggris, kata Moazzam sudah memiliki universitas-universitas terbaik dunia, sehingga penyebaran ilmu pengetahuan menjadi penting.
Ia mengatakan, dalam bidang sains dan riset Inggris menempati posisi kedua dunia. Sebanyak 54 persen hasil penelitiannya masuk ke dalam kategori terbaik dunia. Hasil riset Inggris juga dikutip lebih banyak jika dibandingkan dengan riset negara lainya. Oleh sebab itu, Muazzam mengatakan Inggris merupakan negara yang tepat untuk bekerja sama dalam bidang riset.
"Saya kira proyek yang terpilih sangat penting. Berfokus pada penyakit-penyakit dan berfokus bagaimana mendiagnosis lebih mudah dan murah. Ini riset yang sangat revelan untuk kesehatan rakyat Indonesia," kata Muazzam.
from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2HibtXmBagikan Berita Ini
0 Response to "Indonesia-Inggris Kerja Sama Riset Penyakit Menular"
Post a Comment