Search

UU Belum Mendukung Indonesia Jadi Pusat Ekonomi Islam

UU Zakat, UU Pajak Penghasilan dan UU OJK harus diamandemen.

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) berpandangan, peraturan pemerintah belum mendukung penuh Baznas menjadi pengelola zakat terbaik di dunia. Padahal Baznas membantu mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan mustahik dengan optimalisasi pengelolaan zakat menuju Indonesia pusat ekonomi Islam dunia.

Baznas menilai kalau pemerintah betul-betul ingin merealisasikan visi pemerintah tahun 2024, dengan menjadikan Indonesia pusat ekonomi Islam dunia, maka harus ada peraturan Undang-Undang (UU) yang mendukungnya. "Memang UU tidak mendukung, UU Zakat, UU Pajak Penghasilan dan UU OJK (Otoritas Jasa Keuangan) tidak mendukung, tiga UU itu harus diamandemen," kata Ketua Baznas Bambang Sudibyo kepada Republika.co.id saat Rakornas Zakat 2019 di Hotel Sunan Surakarta, Jawa Tengah, Senin (4/3).

Menurutnya, tiga UU tersebut diamandemen agar pengelolaan zakat di Baznas kabupaten/ kota, provinsi dan pusat seperti pengelolaan pajak. Tapi pendistribusian zakat tidak seperti pendistribusian pajak, karena pendistribusian zakat sudah diatur dalam Islam.

Bambang mengatakan, menteri keuangan pernah mengatakan pengelolaan zakat harus seperti mengelola pajak. Baznas juga menginginkan hal tersebut, membuat aturan yang mewajibkan zakat sama seperti wajibnya pajak.

"Tapi ada ada konsekuensinya, membuat wajib (zakat) itu pasti akan ada resistance (penolakan) dari masyarakat, supaya masyarakat tidak resistance maka Kementerian Keuangan (perlu) memberikan insentif," kata Bambang.

Ia menjelaskan, zakat yang dibayarkan kepada Baznas atau lembaga amil zakat (LAZ) diharapkan bisa mengurangi kewajiban pajak. Itulah bentuk insentif yang bisa diberikan Kementerian Keuangan kepada masyarakat.

Ia mengatakan, bentuk insentif yang diinginkan Baznas itu telah disampaikan kepada Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Prof Mardiasmo, berharap bisa sampai kepada Menteri Keuangan. Sebab yang memulai gagasan tersebut Menteri keuangan.

Ia melanjutkan, kalau zakat menjadi wajib dan sistem insentif pajak seperti yang diinginkan Baznas, maka potensi zakat 1,57 persen produk domestik bruto (PDB) berubah menjadi 3,4 persen PDB. Menurutnya, peraturan wajib zakat dan sistem insentifnya sebenarnya sudah diterapkan Malaysia.

"Bayangkan kalau zakat wajib, undang-undang bisa mengatakan bahwa semua perusahaan sepanjang mempekerjakan karyawan ataupun direksi Muslim wajib memotong zakatnya dan disetorkan ke Baznas atau LAZ," ujarnya.

Bambang mengatakan, kalau karyawan-karyawan di perusahaan swasta membayar zakat, maka realisasi pengumpulan zakat bisa semakin besar. Kalau dana zakat yang dikelola Baznas besar, maka kepercayaan publik harus terjamin. Karenanya perlu ada pengawasan yang baik terhadap pengelola zakat seperti Baznas dan LAZ.

"Maka kita ingin OJK mengawasi Baznas dan LAZ, karena Baznas dan LAZ akan menjadi lembaga keuangan syariah yang cukup besar," jelasnya.

Ia menegaskan, mestinya Baznas dan LAZ sebagai lembaga keuangan diawasi oleh OJK. Sekarang Baznas hanya diaudit oleh kantor akuntan publik (KAP). Sebab UU yang mengatur pengawasan masih lemah. Malah Baznas sendiri yang menginginkan pengawasan terhadap Baznas dan LAZ diperketat.

Untuk sampai ke amandemen UU, Bambang melihat harus melakukan pendekatan-pendekatan. Amandemen UU Pajak Penghasilan hak inisiatif Kementerian Keuangan. Tapi Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) bisa mengambil inisiatif untuk menggagas amandemen UU tersebut. Sementara, untuk amandemen UU Zakat, hak inisiatifnya ada di Kementerian Agama.

Let's block ads! (Why?)

from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2VBX79Q

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "UU Belum Mendukung Indonesia Jadi Pusat Ekonomi Islam"

Post a Comment

Powered by Blogger.