IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) melegalkan haji furodah. Sebelumnya, UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menganggap haji furodah sebagai ilegal, padahal pemerintah Arab Saudi telah melegalkannya melalui Visa Mujamalah.
Baca Juga:
Legalitas penyelenggaraan haji forudah diatur dalam pasal 16 sampai pasal 17 UU PIHU. Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj mengapresiai pemerintah dan DPR yang telah bersikap dengan melegakan haji furodah di dalam klausul UU PIHU.
Dia mengakui, selama ini status hukum haji furodah kerap menuai polemik. Namun, setelah terbitnya UU PIHU, dia mengharapkan perdebatan itu mereda. Yang terpenting saat ini adalah, mempersoalkan mekanisme pengawasan dan teknis pembayaran haji furodah yang belum dibahas secara tegas di dalam UU tersebut.
"Tapi ini akan jadi persoalan ketika misalnya nanti isu berikutnya terkait dengan kedudukan badan pengelola keuangan haji (BPKH) karena semua setoran awal setoran semua jamaah ke BPKH kalau jamah furodah nati akan ditanyakan terkait pajak pendapatan negara dan pendapatana negara bukan pajak (PNBP)," kata Mustolih saat berbincang dengan Ihram.co.id, Jumat (29/3).
Baca juga: Soal Haji Furodah Diminta Masuk dalam Revisi UU Haji
Mustolih memastikan mekanisme pengawasan dan teknis pembayaran penting untuk dibahas. Sebab, UU PIHU tidak menunjuk secara tegas siapa yang bertanggungjawab ketika terjadi hal-hal yang tak diinginkan terhadap jamaah haji furodah. Selain itu, perlu ditegaskan pula berapa besaran biaya haji forudah.
Karena itu, Mustolih menilai, UU PIHU tekesan asal jadi. Kandungan beleid ini belum sampai melihat aspek-aspek lain yang juga tidak kalah penting setelah dilegalkannya haji furodah. "Jadi posisinya di mana sebetulnya haji furodah? Kalau tegas dilegalkan ya bagaimana mekanismenya harus jelas," kata dia.
"Jangan katika ada masalah terhadap haji furodah, pemerintah dan travel saling tuding. Jangan sampai travel hanya mengambil untung, namun ketika ada masalah di Tanah Suci, travel berdalih ini menjadi tanggungjawab pemerintah melalui Kemenlu, karena menyangkut warga negara Indonesia di luar negeri," papar Mustolih lagi.
Dia berharap, jangan sampai Pasal 16 dan 17 UU PIHU menjadi bumerang bagi pemerintah ketika biro penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) tak bisa menyelesaikan berbagai masalah ketika di Tanah Suci.
Mustolih memahami bila haji furodah dianggap sebagai jalan keluar untuk mengurangi antrean haji reguler dan haji khusus. Apalagi, lanjut dia, selama ini ada anggapan umum, haji furodah yang mendaftar pada tahun ini maka tahun ini juga berangkat ke Tanah Suci.
Baca juga: Haji Furada Jadi Duri dalam Daging Pemerintah Indonesia
Namun, pada faktanya cukup banyak calon jamaah haji furodah yang dijanjikan berangkat pada tahun ini tidak jadi diberangkatkan pada tahun yang sama.
Hal itu berbeda daripada haji reguler dan haji khusus. Keduanya jelas kapan waktu keberangkatannya karena sesuai nomor porsi yang terdaftar di Kementerian Agama. Itu setelah tiap calon jamaah membayar setoran awal dan pelunasan ke BPKH melalui Bank Penerima Setoran (BPS).
Persoalannya bagi haji furodah, furodah siapa yang menentukan berapa bayaran dan nomor porsi keberangkatannya. "Maka ini harus hati-hati menyikapi haji furodah ini. Satu sisi desakan pemerintah tidak bisa menambah kuota haji pertahunnya," tegas Mustolih.
Berita Terkait
Menurut dia, kalau haji furodah dianggap sebagai jalan keluar dalam mengurangi antrean panjang, maka mekanisme persyaratan dan perlindungan jamaahnya mesti jelas juga. Jangan sampai peluang yang ada dimanfaatkan oleh PIHK yang nakal atau ilegal.
"Ini kemudian yang harus dikritisi jangan sampai ini menjadi pasal-pasal gelap yang nanti bisa rugikan jamaah," katanya.
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2FKuCShBagikan Berita Ini
0 Response to "UU Baru Dinilai belum Maksimal Lindungi Haji Furodah"
Post a Comment