REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) memperkirakan nilai tukar rupiah akan tetap terjaga pada level Rp 14.200 per dolar AS. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan stabilitas nilai tukar terjaga di tengah ketidakramahan gejolak ekonomi global pada 2018 lalu.
Tercatat, mata uang Garuda melemah ke level Rp 15.400 terhadap dolar AS. “Kita patut bersyukur, harus bersyukur bahwa kinerja ekonomi Indonesia pada 2018 cukup baik. Stabilitas bisa kita pulihkan, inflasi terkendali, nilai tukar dapat dikendalikan. Stabilitas dan ketahanan ekonomi Indonesia mampu menahan serangan global spillover,” ujarnya saat acara ‘Peluncuran Buku Laporan Perekonomian Indonesia 2018’ di Gedung BI, Rabu (27/3).
Menurut Perry pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih baik dibandingkan negara lainnya, yang tidak tahan dengan kondisi ekonomi global pada tahun lalu. Semisal Argentina dan Turki menjadi negara yang mengalami krisis finansial.
“Kondisi perekonomian global pada 2018 sangat tidak ramah. Dampaknya perekonomian Indonesia pun mengalami guncangan pada tahun lalu. Tapi pertumbuhan ekonomi bisa dijaga (5,13 persen) di tengah negara-negara lain bahkan sejumlah negara alami resesi," ucapnya.
Pada kesempatan sama Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menambahkan saat ini nilai tukar rupiah masih terlalu murah (undervalue) di kisaran Rp 14.000 per dolar AS. Bank Sentral mengindikasikan masih terdapat ruang penguatan bagi mata uang Garuda untuk waktu ke depan.
“Sebagai negara yang masih mengalami defisit transaksi berjalan (CAD) pasti butuh dolar AS, ada kebutuhan impor barang dan jasa, pasti itu permintaan terhadap valas selalu ada di dalam negeri. Tapi yang penting adalah kuartal pertama 2018 itu CAD bisa didana Inflow, juga demikian di kuartal satu ini masih ada CAD, tapi ada perbaikan dan financing itu juga trennya terus membaik sehingga ada stabilitas kurs yang terus membaik,” jelasnya.
Di sisi lain, Mirza mengakui tingkat suku bunga acuan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral AS the Federal Reserve (The Fed). Hal ini seperti terlihat dari perjalanan suku bunga acuan sepanjang 2000 hingga 2018.
"Periode 2000, 2001 saat The Fed turun ratenya, kita lihat bahwa suku bunga kita mampu turun. Pada saat itu kurs membaik. Pada waktu suku bunga AS mulai naik 2004-2005 dan naik sangat cepat dari 1 persen ke 5,25 persen, saat itu pun kurs kita melemah dan saat itu kita harus respon dengan suku bunga Indonesia yang naik,” ungkapnya.
Kemudian pada 2008, lanjut Mirza, AS mengalami krisis besar yang berawal dari subprime mortgage sehingga AS melakukan pelonggaran besar-besaran. Pelonggaran itu dilakukan dengan menurunkan suku bunga acuan secara drastis dari 5,25 ke 0,25 persen.
"Kemudian suku bunga Indonesia turun dan kurs menguat," ucapnya.
Kemudian pada 2013, lanjut Mirza, AS memberikan aba- aba akan menaikkan suku bunga dan mengurangi stimulus ekonomi secara bertahap (Taper Tantrum). Imbasnya nilai tukar rupiah mengalami pelemahan cukup dalam.
"Suku bunga AS belum naik 2013, kurs kita melemah, dan bukan cuma Indonesia yang melemah tapi berbagai negara melemah dan kita pun harus melakukan repson menaikkan suku bunga," ungkapnya.
Meski demikian, ada periode di mana suku bunga AS naik pada 2016 dan 2017 justru BI meresponnya dengan menurunkan suku bunga acuan. Hal ini terjadi lantaran kondisi neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami surplus.
“Pada 2013-2015 kita punya CAD di atas 3 persen. Pada 2018 kenapa kita naikkan bunga lagi? Karena saat itu suku bunga AS masih naik dan Trump berantem dengan China dan CAD kita kembali membengkak. Tadinya di bawah 2,5 persen, lalu CAD kembali menuju ke 3 persen, bahkan angka kuartalan (defisit) di atas 3 persen dari PDB. Jadi BI berikan respon dengan naikkan suku bunga," ucapnya.
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2HJlCPoBagikan Berita Ini
0 Response to "BI Perkirakan Rupiah Stabil di Posisi Rp 14.200 per Dolar AS"
Post a Comment