
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, pemahaman masyarakat untuk mencoblos dengan benar masih minim. Akibatnya, potensi suara tidak sah pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 masih tinggi.
Ia menjelaskan, pada Pemilu 2014 angka suara tidak sah mencapai 14 persen. Meski lebih baik dari Pemilu 2009 yang hampir menyentuh 19 persen, suara tidak sah akan merugikan, baik bagi partai maupun pemilih.
"Pemilih tidak paham memberikan suara dengan benar. Salah satu yang tak sah tertinggi adalah di Banten, 22 persen," kata dia saat diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/10).
Karena itu, strategi calon anggota legistlatif (caleg) dan partai politik untuk mengajak pemilih mencoblos itu menjadi penting. Hal itu menjadi salah satu tugas berat partai, pasalnya dalam ada ambang batas parlemen (parliamantery threshold) sebesar 4 persen agar partai lolos parlemen.
Apalagi, lanjut Titi, Pemilu 2019 dilakukan secara serentak. Keserentakan itu semakin menjadi beban bagi masyarkaat untuk menentukan pilihan.
Ia menjelaskan, dalam simulasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), butuh rata-rata 8 menit untum satu orang pemilih di dalam bilik suara. "Itu masih menggunakan buah, belum dihadapkan pada surat suara," tegasnya.
Selain itu, persoalan yang harus diperhatikan dalam proses Pemilu 2019 adalah proses perhitungan suara di Tempat Pencoblosan Suara (TPS). Diprediksi, butuh waktu 16 jam 30 menit agar seluruh suara terhitung dalam satu TPS.
Menurut dia, kondisi fisik para petugas di lapangan menjadi salah satu yang harus diperhatikan. Kondisi fisik yang kelelahan berpotensi mengurangi fokus petugas dalam melakukan perhitungan.
"Itu menjadi penting dari petugas pemilu agar bekerja cermat di hari H," ujar dia.
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2SnnAY0Bagikan Berita Ini
0 Response to "Perludem Temukan Pemahaman Mencoblos Masih Kurang"
Post a Comment