REPUBLIKA.CO.ID, oleh M. Ridzki Wibowo*
Perhelatan Asian Games 2018 yang berlangsung di Jakarta dan Palembang, Indonesia telah resmi ditutup. Rasa nasionalisme semakin bertumbuh setelah menyaksikan performa Indonesia sebagai tuan rumah yang mampu melayani sekaligus menghibur seluruh elemen masyarakat, mulai dari opening ceremony hingga closing ceremony kemarin. Meski terdapat beberapa keluhan turis mancanegara terkait isu tiket dan kendala bahasa, secara keseluruhan Indonesia telah berhasil menjadi tuan rumah yang baik. Apresiasi patut diberikan untuk pemerintah, khususnya pemerintah daerah, panitia, atlet dan masyarakat yang berpartisipasi menyukseskan acara tersebut.
Dampak ekonomi langsung yang dirasakan pun sebetulnya sangat banyak. Untuk jangka pendek, kehadiran Asian Games 2018 mampu menyerap hampir 1000 tenaga kerja lokal untuk kontrak selama 3 bulan. Selain itu, keterlibatan lebih dari 400 pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Indonesia untuk penyediaan merchandise Asian Games 2018 tentu turut, serta menyuburkan perputaran usaha mereka.
Dalam jangka panjang, manfaat Asian Games dapat dirasakan dari investasi pemerintah sebesar Rp 4,5 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk renovasi venue-venue Asian Games, perbaikan jalan, hingga penyelesaian pengadaan sarana transportasi, khususnya Light Rapid Transit (LRT).
Akan tetapi, klaim pemerintah melalui menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas seperti yang diberitakan oleh Metrotvnews pada 30 Juli 2018 bahwa Asian Games dapat menguatkan nilai kurs rupiah ternyata tidak terbukti. Proyeksi sumbangan Asian Games sebesar 230 juta dolar AS terhadap devisa negara pun patut dipertanyakan. Nyatanya, sejak Asian Games dihelat pada 18 Agustus 2018 hingga penutupan pada 2 September 2018 kemarin, nilai kurs rupiah terus mengalami pelemahan hingga menembus Rp.14,700.00 per dolar Amerika Serikat (AS).
Memang betul pelemahan nilai kurs rupiah dipengaruhi oleh perkembangan situasi global seperti krisis di Argentina dan Turki, serta ancaman perang dagang yang masih berlanjut antara Cina dengan Amerika. Akan tetapi, kondisi internal pemerintah saat ini pun tidak mampu menguatkan atau menahan pelemahan nilai kurs rupiah karena dilansir dari Bank Indonesia bahwa defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan ke dua 2018 semakin melebar di angka USD 8 miliar.
Kekhawatiran akan performa nilai kurs rupiah pun semakin besar apabila kita bandingkan dengan performa nilai kurs negara ASEAN lainnya. Per hari ini (4 September 2018) Rupiah sudah terdepresiasi lebih dari 10% dibandingkan posisi hari pertama Januari 2018. Ini paling jelek di antara negara-negara ASEAN 5, bahkan masih lebih jelek dibanding Dong Vietnam dan KIP Laos. Kedua mata uang ini hanya turun 2,6% dan 5% antara awal Januari, dan awal September 2018. Vietnam, Thailand dan Malaysia mengalami pelemahan yang tidak signifikan berkat ekonomi mereka yang fokus pada ekspor.
Melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini, maka bukan tidak mungkin nilai tukar rupiah dapat menembus dan bertahan di atas level Rp 15,000.00. Pemasukan dari sektor pariwisata sebesar Asian Games saja tidak mampu untuk menahan pelemahan nilai tukar rupiah, maka harapan faktor internal pemerintah saat ini yang dapat diandalkan adalah performa neraca transaksi berjalan.
Maka dari itu, diperlukan kebijakan dan keberanian dari pemerintah untuk memperketat impor barang dan jasa, serta fokus memperkuat ekspor supaya Indonesia betul-betul bisa menjadi Energy of Asia, baik dalam konteks Asian Games maupun Indonesia secara keseluruhan.
*) Praktisi bisnis, lulusan MSc in Management, National University of Singapore
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2NgKL6GBagikan Berita Ini
0 Response to "Ironi Energy of Asia dan Kurs Rupiah yang tak Berenergi"
Post a Comment