REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK UTARA -- Lanskap barisan bukit hijau dan lazuardi laut kini harus bercampur hamparan puing yang berserakan. Sebulan ini nama Lombok kian bergema di telinga, bukan lagi soal pariwisata, tetapi karena bencana gempa.
Gempa besar membuat masyarakat tidur beralaskan bumi beratapkan langit malam itu. Arus listrik seketika berhenti, malam menjadi gelap yang dipenuhi suara takbir dan teriakan tolong. Bunyi dentuman bangunan roboh menambah kecemasan. Sejak saat itu, tidak ada lagi bangunan yang mereka sebut rumah.
Dampak paling parah tergambar di sisi utara dan timur pulau di sebelah Bali ini. Hampir 500 orang meninggal dunia, kerusakan materi ditaksir lebih dari tujuh triliun, dan ribuan jiwa kini tidak lagi memiliki tempat tinggal.
Sebulan sudah, masyarakat terdampak gempa harus melanjutkan hidup di tenda pengungsian. Salah satunya, di Posko Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Lapangan Gondang, Desa Gondang, Kecamatan Gangga, Lombok Utara. Ada ratusan jiwa yang kini tinggal di sana. Mereka adalah warga Desa Gondang yang pemukimannya tidak jauh dari didirikannya tenda pengungsian sekarang.
Lima bocah yaitu, Aji (9 tahun), Muji (11), Chelsea (11), Osin (11), dan Iban (9) berjalan perlahan. Kaki-kaki kecil mereka mengantarkan tim ACT menembus jalan-jalan kecil, sesekali melompati puing-puing rumah yang dulu pernah berdiri tegak, sebelum gempa 7,0 SR mengguncang Lombok Utara lebih dari sebulan.
“Kak bisa nggak Kak? Pegangan, Kak,” ujar Iban. Ia berhenti sejenak, mempersilakan tim ACT naik ke sisa tembok setinggi betis orang dewasa, melangkahi bongkahan puing-puing rumah yang kami lewati. Ia bergeser ke barisan paling belakang.
Mereka adalah anak-anak penyintas gempa bumi Lombok yang tinggal di tenda pengungsi Lapangan Gondang, tidak jauh dari kompleks Integrated Community Shelter (ICS) yang sedang dibangun ACT.
Sementara itu, di siang hari di bawah langit mendung, Muhammad Masrur (51) sedang duduk di bruga, sebuah balai dipan di depan rumahnya. Itu merupakan satu-satunya bangunan yang masih berdiri.
Masrur pulang ke rumah untuk mengumpulkan kembali barang-barang milik keluarganya yang masih bisa diselamatkan. "Pulang ke rumah" di saat siang adalah kebiasaan penyintas gempa. Suhu panas siang hari ditambah kondisi lapangan yang berdebu membuat sejumlah penyintas tidak betah tinggal di tenda.
"Anak saya yang paling kecil kalau siang nangis, di tenda itu kan panas, enggak bisa tidur siang. Ditambah sudah mulai sakit perut, masuk angin kalau malam. Apalagi mau masuk musim hujan," cerita Masrur. Ia adalah satu dari penerima manfaat hunian sementara ACT di Kompleks ICS Gangga.
Bercerita dengan Masrur, rumah adalah salah satu kebutuhan paling penting saat ini bagi masyarakat terdampak gempa. Rumah yang utuh adalah simbol kebangkitan dari runtuhnya puing-puing hidup setelah gempa terjadi.
Menurut Masrur, hunian sementara yang tengah dibangun ACT menjadi tahapan awal masyarakat untuk kembali bangkit. "Tidak bisa tidak. Kita, (para pemuka agama dan pimpinan desa) sudah menyerukan sejak awal. Masyarakat harus bangkit, tidak boleh apatis dengan keadaan ini, kita harus mulai dari nol lagi. Anak-anak sudah harus sekolah, suami-suami harus berkegiatan sebagaimana kepala rumah tangga. Nah, untuk memulai itu semua harus nyaman, dan kalau mau nyaman ya di hunian sementara itu," jelas guru di sekolah darurat ICS Gondang itu.
Sejalan dengan Masrur, hunian sementara memang menjadi langkah tanggap yang dilakukan ACT untuk mengawali kehidupan masyarakat setelah gempa. "Kalau sudah jadi, kompleks ini akan jadi kawasan terpadu. Bahkan di tengah ini, kita akan bikin taman ya, untuk anak-anak bermain, agar kawasan ini hidup. Kawasan yang benar-benar jadi tempat pemulihan masyarakat," ungkap Vice President ACT Syuhelmaidi Syukur dalam peluncuran awal ICS Lapangan Gondang, seperti dalam siaran persnya.
Kompleks yang sudah 17 hari masa pembangunan itu dilengkapi sejumlah fasilitas seperti masjid, sekolah darurat, dan humanity store. Sarana penunjang tersebut diharapkan membantu keadaan masyarakat dalam masa pemulihan.
Guncangan gempa memang hanya terjadi sepersekian detik, melumpuhkan perekonomian, menghancurkan rumah, masjid, dan sekolah, tapi tidak semangat hidup masyarakat terdampak gempa. Masrur dan warga Desa Gondang adalah contohnya.
Hunian sementara adalah wujud prakarsa kepedulian masyarakat Indonesia dalam mendampingi masyarakat terdampak gempa. Mengusung tema "Indonesia bersama Lombok", ACT mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk membantu pemulihan kehidupan penyintas gempa.
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2x1mcBiBagikan Berita Ini
0 Response to "Bangkit dari Reruntuhan"
Post a Comment