REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menilai keterlibatan menteri dalam tim kampanye pemilihan presiden sebagai upaya mendulang suara. Apalagi, kata dia, menteri yang masuk dalam tim kampanye ialah tokoh yang sudah populer.
"Menteri ini kan sudah dikenal luas sama publik. Sebagai instrumen mendongkrak suara dari masing-masing kandidat (capres-cawapres)," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (23/8).
Adi mengatakan, dalam berpolitik sudah hal biasa menggunakan nama tokoh nasional yang populer untuk meraih suara pemilih. Selain nama yang sudah terkenal, menurut Adi, menteri juga memiliki jejaring birokrasi yang sistematis ke berbagai daerah sampai tingkat terbawah.
"Menteri itu memiliki jaringan struktural yang cukup masif. Struktur kementerian itu kan sampai dengan tingkat kecamatan ada. Menteri Agama misalnya, sampai ke KUA kan ada, tingkat kecamatan, begitu pun ke semua departemen," jelasnya.
Lanjut Adi, hal inilah yang coba dimanfaatkan oleh tim pasangan capres-cawapres untuk menempatkan menteri menjadi bagian tim kampanye. Sebab, jaringan yang terbangun secara sistematis serta sosoknya yang dikenal publik mampu mendulang suara. Selain itu, ia menyebut, menteri juga dapat membantu dalam menyusun konten dan substansi isu kampanye.
"Misalnya Sri Mulyani, tentu konten yang ingin didapat adalah yang terkait dengan ekonomi-ekonomi makro dan global," katanya.
Namun, menurut dia, keterlibatan menteri dalam tim kampanye dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. "Menurut saya potensi penyalahgunaan kekuasaan dan conflict of interestnya (konflik kepentingan) itu cukup terbuka," imbuhnya.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari mengatakan, para menteri tidak boleh menggunakan fasilitas jabatannya saat melakukan kampanye. Menteri juga dilarang membuat kebijakan yang menguntungkan pasangan capres-cawapres tertentu.
"Ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan saat kampanye nanti. Pertama, menteri dilarang menggunakan fasilitas jabatannya saat melakukan kampanye. Kedua, menteri juga dilarang membuat kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan capres-cawapres peserta pemilu," ujar Hasyim kepada wartawan di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (21/8).
Hasyim pun mengingatkan jika pelanggaran atas larangan di atas memiliki sanksi yang tegas. Selain sanksi pidana pemilu, para menteri juga bisa diberhentikan dari jabatannya.
Sebagaimana diketahui, ada sejumlah menteri yang saat ini masih aktif dalam kabinet kerja tercatat masuk dalam struktur tim kampanye nasional pasangan bakal capres Joko Widodo-Ma'ruf Amin (Jokowi-Ma'ruf). Selain menteri, ada juga beberapa nama pejabat negara masuk dalam tim kampanye yang sudah disampaikan secara resmi kepada KPU itu.
Para menteri dan pejabat tersebut, yakni Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto (sebagai anggota dewan penasehat tim kampanye), Wakil Presiden Jusuf Kalla (sebagai ketua pengarah tim kampanye), Menteri PMK Puan Maharani, dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati (sebagai anggota pengarah tim kampanye). Selain itu, ada pula Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang juga masuk dalam tim pengarah kampanye nasional Jokowi-Ma'ruf Amin.
Selanjutnya, ada Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang menjadi wakil ketua tim kampanye nasional Jokowi-Ma'ruf. Terakhir, juru bicara kepresidenan Johan Budi juga masuk dalam struktur tim kampanye Jokowi-Ma'ruf.
Berdasarkan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menteri memang diperbolehkan menjadi anggota tim kampanye. Namun, berdasarkan pasal 302 ayat 2, cuti bagi menteri yang melaksanakan kampanye hanya dapat diberikan satu hari kerja dalam setiap minggu selama masa kampanye. Sementara berdasarkan ayat 3, hari libur merupakan hari bebas untuk melakukan kampanye.
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2MrQ2siBagikan Berita Ini
0 Response to "Pengamat: Menteri Jadi Tim Kampanye Upaya Mendulang Suara"
Post a Comment